Hobi, Ini Itu

Penuh Filosofi, Ini Cerita di Balik Permainan Ular Tangga

Jadipunya.id – Era digital merubah banyak hal. Tak terkecuali dalam hal bermain. Boardgame atau permainan papan tak lagi dimainkan secara tatap muka. Seperti permainan Ular Tangga, kini bisa dimainkan secara jarak jauh via online dan menggunakan smartphone.

Tapi tahukah kamu? Meski bisa dimainkan secara online, permainan ular tangga (atau Snakes and Ladders) memiliki filosofi yang dalam. Selain sejarahnya yang juga panjang.

Filosofi Permainan Ular Tangga

Berasal dari kebudayaan Hindu, berikut ini filosofi yang terkandung dalam permainan Ular Tangga.

Mewakili Kebaikan dan Keburukan

Papan permainan Ular Tangga yang dikenal saat ini terdiri dari 100 kotak dengan jumlah ular dan tangga yang beragam. Tangga mewakili kebajikan seperti keimanan (faith), kemurahan hati (generosity), kerendahan hati (humility), perenungan atau pertapaan (asceticism). Sementara ular mewakili sifat buruk seperti kemarahan (anger), pencurian (theft), nafsu (lust), dan serakah (greedy).

Tangga menggambarkan bahwa kebaikan akan menuntun kita untuk menaiki jalan menuju kemenangan. Sementara ular sebagai sifat buruk akan membawa kita kembali pada permulaan.

Jumlah ular biasanya lebih banyak dari jumlah tangga. Ini menunjukkan bahwa jalan menuju kebajikan akan lebih sulit dibandingkan jalan menuju dosa.

freedom
Gambar: Pexels

Karma, Samsara, Moksa

Siapa yang menanam, dia yang akan menuai. Ini sesuai dengan konsep karma, yaitu perbuatan selama hidup akan menyebabkan siklus sebab dan akibat. Kebaikan yang diwakilkan dengan tangga yang berarti naik menuju kebahagiaan sejati yang terbebas dari ikatan duniawi (moksa).

Sementara keburukan, yang diwakilkan ular, akan membawa manusia pada kemalangan yang tanpa henti. Ini disebut sebagai samsara, yang berarti kelahiran kembali yang berulang-ulang. Dalam Ular Tangga, jika pion berhenti pada kotak bergambar ular, maka pion itu akan turun ke kotak di bawahnya. Jika kemudian melangkah dan ternyata berhenti pada kotak bergambar ular lagi, maka pion akan turun lagi. Begitu seterusnya, seperti siklus kelahiran kembali yang berulang.

Satu-satunya cara agar terlepas dari kemalangan adalah dengan mencapai tujuan hidup, yaitu moksa. Dalam papan Ular Tangga, ini berarti mencapai kotak akhir atau kotak ke-100.

Sebagai Alat Pembelajaran tentang Moralitas Hidup

Dalam perkembangannya, Ular Tangga diadopsi dan diadaptasi oleh agama-agama selain Hindu yang ada di India. Agama Jain, Budha dan Islam mengadaptasi Ular Tangga sebagai alat untuk mengenalkan konsep sebab akibat (reward and punishment). Untuk beberapa keyakinan, permainan ini dimainkan sebagai bentuk dari meditasi.

Permainan ular tangga mengajarkan pemain untuk terus berintrospeksi pada jalan hidupnya sendiri dibandingkan dengan bersaing dengan orang lain.

***

Sejarah “Gyan Chaupar”

Filosofinya yang dalam tidak terlepas dari sejarahnya yang panjang. Permainan Ular Tangga berasal dari India. Di India Utara disebut sebagai Gyan Chaupar (yang berarti game of knowledge). Di India bagian lain bisa disebut sebagai Moksha Patamu, Mokshapat, Leela, atau Parampada Sopanapata.

Tidak diketahui dengan pasti siapa penemu dan kapan permainan ini ditemukan. Ada yang menyebut Gyan Chaupar dikenalkan oleh Dnyaneshwar, dikenal juga dengan Dnyandev, yang hidup pada abad ke-13. Namun, ada juga yang menyebut Gyan Chaupar telah ada sejak abad ke-2 masehi. Pada versi lain, disebutkan bahwa Gyan Chaupar dibuat pada abad ke-10 masehi oleh seorang pendeta Jain.

papan gyan chaupar
Papan permainan Gyan Chaupar. Sumber: ancient-origins.net

Dulunya, Gyan Chaupar dibuat pada kain, kertas, atau papan kayu. Jumlah kotak di versi orisinal dipercaya sebanyak 72 kotak versi Hindu. Ada juga variasi 84 kotak pada papan versi agama Jain, atau 101 kotak pada papan versi Sufi. Meski ada juga varian lain yang mencapai 360 kotak.

Sedangkan jumlah kotak pada papan permainan yang dikenal saat ini berjumlah 100.

Menurut ancient-origin.net, dalam versi 72 kotak, kotak nomor 24 (teman yang buruk), 44 (pengetahuan yang salah) dan 55 (egois) adalah kotak untuk sifat-sifat yang tidak baik. Karena salah satu filosofis permainan ini adalah konsep karma, maka untuk setiap sifat buruk akan ada akibatnya. Untuk sifat buruk tadi, efeknya adalah kesia-siaan hidup, sensualitas, dan ilusi.

Sementara untuk sifat-sifat baik ada pada kotak 10 (kesucian), 28 (keyakinan sejati), dan 46 (hari nurani). Sifat baik tersebut akan menuntun pada alam surgawi, kebenaran, dan kebahagiaan.

ular tangga atau gyan chaupar sufi
Muslim Gyan Chaupar. Sumber: Andrew Topsfield, Jstor.

Meski aslinya sebagai permainan populer dalam agama Hindu, ada juga Gyan Chaupar versi Sufi Muslim.

Pada versi Sufi, menurut Andrew Topsfield dalam tulisannya “The Indian Game of Snakes and Ladders”,  papan Ular Tangga bertuliskan bahasa Persia. Berisi nama-nama kebajikan, keburukan, dan kondisi spiritual. Ada 100 kotak yang harus dilewati untuk menuju kemenangan. Sementara kotak ke-101 adalah alun-alun kemenangan.

Dalam pendakian menuju kotak 101, pemain bertemu dengan 13 ular dan 17 tangga. Ular dengan nama seperti keserakahan (22), dan teman buruk (30) ada di bagian bawah papan. Sedangkan ular panjang yang bernama kesombongan (91) menurunkan derajat pemain pada kekerasan (18). Yang paling mengerikan adalah ular bernama godaan setan (100) yang bisa mengarahkan pemain secara diagonal menuju nafsu (10).

Berbeda dengan ular yang bisa membawa pemain turun ke bagian terbawah, tangga lebih banyak berada di bagian atas papan. Misalnya, kepastian (48) mengarah pada perdamaian (54), dan ilmu (69) mengarah pada Keislaman (94).

Nama sifat pada setiap kotak ini terpengaruh dari doktrin Sufi. Meskipun jumlah tangga lebih banyak dibanding jumlah ular, namun ukuran tangga relatif pendek dibanding dua ular terpanjang. Ini mengandung arti bahwa jalan ke atas bagi para pencari spiritual adalah jalan yang bertahap.

Tidak banyak bukti tentang bagaimana ular tangga menyebar keluar dari India.

Papan "Snakes and Ladders" F.H. Ayres.
Papan “Snakes and Ladders” F.H. Ayres. Sumber: collections.vam.ac.uk
papan permainan ular tangga atau snakes and ladders
Snakes and Ladders. Sumber: collections.vam.ac.uk

Di luar India, Inggris adalah negara yang pertama kali mengenal Gyan Chaupar. Permainan ini dibawa oleh keluarga koloni dari India yang pulang ke Inggris. Catatan mengenai Gyan Chaupar di Inggris yaitu permainan Snakes and Ladders yang terdaftar pada tahun 1892 oleh F.H. Ayres. Di Inggris, Gyan Chaupar juga dikenal sebagai The Ladder to Salvation (Tangga Keselamatan).

Papan permainan Chutes and Ladders oleh Milton Bradley
Papan “Chutes and Ladders”. Sumber: wikipedia.org

Tahun 1943, di Amerika Serikat, Ular Tangga disesuaikan namanya menjadi Chutes and Ladders (Perosotan dan Tangga) oleh Milton Bradley.

Di Indonesia, permainan ini dikenel dengan nama Ular Tangga sebagai terjemahan dari Snakes and Ladders.

Cara Main

Credit: Youtube Mr.Animate

Biasanya tiap tempat memiliki variasi aturan dan cara bermain yang berbeda.

Namun, aturan umum cara bermain Ular Tangga yaitu:

  • Tujuan permainan adalah menjadi pemain pertama yang mencapai kotak terakhir.
  • Melangkah dari start menuju finish dengan menaiki tangga dan menghindari ular.
  • Alat yang diperlukan untuk bermain: papan permainan, dadu, dan pion.
  • Pemain yang mendapatkan angka lemparan dadu terbesar adalah pemain yang melangkah pertama.
  • Pemain mulai melangkahkan pion setelah mendapatkan angka dadu satu. Ada juga yang setelah mendapatkan angka adu enam.
  • Langkahkan pion sebanyak angka yang ada pada dadu.
  • Jika pion berhenti di kotak yang menunjukkan bagian bawah tangga, naiklah.
  • Jika pion berhenti di kotak yang bergambar ular, turunlah.
  • Jika mendapatkan angka dadu enam, pemain mendapat giliran tambahan.
  • Jika pion sampai di kotak terakhir atau ke-100, maka itulah pemenangnya.

***

Berbeda dengan permainan ludo yang mengandalkan separuh keberuntungan dan separuh strategi, permainan ular tangga murni bergantung pada keberuntungan.

Baca Juga: Asyik Mainnya, Seru Ceritanya: Ini Sejarah Permainan Ludo

Gimana, jadi punya khazanah wawasan baru kan?

Oleh: Ryan Prasetia Budiman

Referensi: ancient-origin | idntimes | livehistoryindia | jstor