Bacaan, Waktu Luang

Bagaimana Cerita Bekerja – Kaitan antara Relevansi, Emosi, dan Konteks

Jadipunya.id – Saat membereskan tumpukan buku atau majalah, saya sering membuka secara random buku atau majalah tersebut. Iseng saja, untuk membaca sekilas informasi penting yang biasanya sudah saya tandai. Biasanya saya membaca kembali jika ada yang menarik. Seperti kemarin malam, saya membaca lagi artikel tentang bagaimana cerita bekerja.

Saya membaca artikel yang sangat baik di Majalah Marketeers edisi Februari 2020. Artikel ini berjudul Ciptakan Makna Melalui Cerita tulisan dari Ignatius Untung. Dari sini, saya mendapat informasi mengenai bagaimana cerita bekerja mempengaruhi perasaan dan tindakan kita.

Karena sangat sayang kalau ketinggalan informasi semenarik ini, saya buat rangkumannya.

Bagaimana cerita bekerja? Cerita bekerja berdasarkan prinsip mendasar bahwa manusia selalu seek pleasure dan avoid pain dalam rangka survival.

Semua yang mengancam diberi label ‘pain’ oleh otak. Ancaman ini bisa berupa yang langsung atau yang tidak langsung. Contoh ancaman yang tidak langsung adalah kehilangan pleasure yang ada di depan mata.

Bagi marketer, cerita adalah elemen penting untuk membuat iklan dengan pesan yang persuasif.

Pesan persuasif marketer bisa terbadi menjadi dua:

  • ‘Menakut-nakuti’ dengan menunjukkan masalah atau akibat buruk jika permasalahann yang mereka hadapi tidak selesai.
  • Positive approach dengan menampilkan situasi positif yang bisa ditawarkan oleh produk atau brand.

Setiap produk pasti punya daftar keunggulan (list of fact). Cerita punya dampak jauh lebih besar dibanding list of fact. Jika hanya menampilkan daftar keunggulan, cerita akan terasa kering. Sementara dengan cerita, audiens akan menemukan meaning atau makna.

Pada dasarnya manusia adalah meaning seeking organism. Ada tiga hal yang berkontribusi terhadap pembuatan meaning, yaitu relevansi, emosi, konteks.

  1. Relevansi. Ini tercapai ketika pesan dalam cerita menggaung di telinga konsumen. Modal utama terciptanya relevansi adalah insight.
  2. Emosi. Emosi sangat powerful untuk memicu otak mengingat kembali hal-hal yang berhubungan. Saat emosi, biasanya kita mulai mengungkit banyak hal. Ini sebagai pendukung informasi untuk menguatkan meaning bentukan otak. Semakin intens emosi yang terpicu, efek cerita akan semain kuat dan tertanam di otak.
  3. Konteks. Meaning yang diciptakan oleh otak terhadap sebuah informasi tidak bisa dipisahkan dari konteks. Marketing context diciptakan melalui framing dan positioning. Contohnya fenomena coffe shop, orang membeli kopi bukan lagi melulu soal rasa, namun juga soal konteksnya sebagai tempat nongkrong dengan suasana nyaman.

Cerita membantu otak menciptakan meaning. Cerita yang relevan seolah-olah menempatkan audiens ke posisi tokoh dalam cerita tersebut. Drama dan konflik dalam cerita membangkitkan emosi yang pada akhirnya mengoptimalkan fungsi otak untuk membangun empati dan mengingat informasi tersebut. Lalu konteks membuat framing dari informasi yang diceritakan menjadi sesuai dengan tujuan penyampaian pesan.

Baca Juga: 6 Prinsip dari Buku Contagious, Penyebab Sesuatu Viral

Oh ya, konteks dari artikel yang saya baca ini adalah tentang ‘sedihnya’ cerita di iklan-iklan Thailand. Fenomena ini dikenal dengan ‘sadvertising’. Salah satu contoh iklan Thailand dengan cerita yang penuh meaning adalah berikut ini.

“Unsung Hero”. Sumber: thailifechannel

***

Gimana, jadi punya khazanah wawasan baru kan?

Baca Juga: Mencari Inspirasi dan Wisdom Melalui Quote dari para Marketer Sukses

Referensi: Ignatius Untung. “Ciptakan Makna Melalui Cerita” dalam Majalah Marketeers edisi Februari 2020 | theculturetrip | youtube: thailifechannel